
Oleh
Agustinus Vicky/Dosen Fisipol UGM
Momen Unipolar, Konsolidasi Kekuatan Globalis
Periode 1990-2001 adalah momen unipolar dalam geopolitik dunia di mana Amerika Serikat, pusat blok kapitalis, menjadi pusat dengan sekutu Uni Eropa dan NATO di seberang Atlantik. Rusia berantakan di tangan Yeltsin, ekonomi dikendalikan oligarki transnasional selama satu dekade dan perang chechnya 4 tahun, 1994-1999, dikompori CIA dan Arab Saudi membiayai jihadis dari kawasan Kaukus. Sementara Timur Tengah absen dari perang proksi setelah Irak menduduki Kuwait dan diusir AS tahun 1991.
Dalam momen unipolar ini, agenda globalisasi ekonomi dunia berlangsung di bawah kendali Bill Clinton selama 2 periode pemerintahannya, estafet kebijakan ekonomi neoliberal warisan Reagan dan Thatcher sebelum Perang Dingin berakhir. China menjadi rekan bisnis kekuatan globalis Barat, tempat produksi manufaktur dan teknologi. Perusahaan multi-nasional berkembang biak dan China termasuk India dijadikan markas produksi, padat karya dan berbiaya murah, dalam rantai ekonomi global.
Konsolidasi ini pun mengikat negara-negara Uni Eropa termasuk Inggris yang memperkenalkan ekonomi jalan ketiga di bawah kendali John Brown dan Tony Blair dari Partai Buruh, 1997-2010. Sementara di AS sektor industri manufaktur berlahan beralih ke Cina dan negara-negara lain. Sementara industri jasa dan teknologi informasi berkembang pesat di bawah Bill Gates, Soros, termasuk tentakel media massa sebagai corong propaganda globalisasi.
Sampai akhir periode terbentuk satu kekuatan globalis dalam momen unipolar di blok-Barat. Partai politik dan korporasi transnasional bersekutu dalam suatu barisan bersama aparatus ideologis seperti NGO internasional, universitas dan lembaga-lembaga Think Tank. Aliansi keamanan lama, NATO, tampil kokoh sendiri, sementara Uni Eropa makin berakar dalam sistem ekonomi-politik neoliberal yang dikendalikan Washington.
Dalam semangat American Exceptionalism di tahun pertama abad ke-21, kekuatan kekuatan globalis, dengan AIPAC sebagai pengendali, menargetkan Republik Islam Iran. Dibutuhkan ancaman global untuk mengepung dan menghabisi Khomeini yang anti Israel, membiayai Hamas dan Hezbollah di selatan Libanon. Demikianlah dunia disuguhkan aksi teror Twin Tower di New York, pusat ekonomi global, 11 september 2001. Dibuka periode perang terhadap terorisme, yang telah disiapkan matang, menghabisi 7 negara Islam sekuler anti-Amerika, menuju Iran, sebagaimana testimoni Jenderal Wesley Clark, mantan Komandan NATO, pada tahun 2003.
Periode Global War on Terrorism, GWOT, dimulai dengan deklarasi Bush seminggu setelah kejadian, 20 September 2001. Osama bin dan Alqaida dikejar tapi tidak ditangkap dan dihancurkan sekejab. Dibiarkan menakuti dunia bertahun-tahun, lalu diberantas setelah tak lagi berguna. Tujuan utama menguasai Afganistan, sebagai basis di Asia Tengah menuju Timur Tengah dan membendung bakal pengaruh Rusia di bawah Putin yang anti-globalis sejak ditunjuk sebagai Presiden pada Mei 2000. Kendati Rusia dan China mendukung GWOT, dukungan itu memiliki tujuan geopolitik berbeda untuk kedua negara. Rusia butuh koalisi dengan AS untuk perangi teroris di Kaukus, tentu dengan sikap waspada akan muslihat CIA, sementara China mendapat sinyal masuk ke WTO tahun 2002 sekaligus mengantisipasi Xinjiang Uighur, provinsi otonom paling barat yang kaya minyak dan gas itu, menjadi sarang gerakan teroris.
Tak jelas hasil 2 tahun di Afganistan, sekretaris negara, Collin Powel, menyatakan perang terhadap Irak dengan dalil memiliki WMOD dan mendukung teroris. Kebohongan terbuka di depan Dewan Keamanan PBB, mengawali penghancuran kota Baghdad tahun 2003, memicu perang sipil Suni-Siah 2004-2006, dan Saddam dihukum gantung tahun 2005.Pemerintahan koalisi berganti-ganti dan perang sipil terus berlanjut sampai 2009, membuka kesempatan radikalisasi gerakan islamis wahabi, sampai menjelmakan ISIS di bawah pengawasan AS di kota Mosul.
Sebelum ISIS dihadirkan, percobaan Arab Spring dilakukan dengan kemasan berita dan monopoli informasi. Facebook, milik Zukenberg, menjadi sarana konsolidasi gerakan anti-Qaddafi, anti-Mubarak dan anti-Assad, tiga pemimpin sekuler yang kritis terhadap agenda koalisi AS, Uni Eropa, NATO, Arab Saudi dan Israel. Gerakan ini awalnya tidak memuaskan AS di Kairo karena meloloskan Morsi dari Ikhwanul Muslim sebagai presiden 2012 yang kemudian dikudeta Fatah El-Sisi tahun 2013.
Berhasil menjatuh Qaddafi di Tripoli, menggunakan kelompok jihadis di Benghazi dengan dukungan bom udara NATO sekaligus dibayar dengan dibunuhnya Duta Besar AS Cristopher Stevens di kota tersebut dan hancurnya Libya pasca Qaddafi. Kegagalan politik luar negeri AS dan Hillary Clinton, sekretaris negara kala, sekaligus salah satu isu utama di balik ketidakpercayaan publik terhadap dirinya dalam Pilpres 2016. Skandal ini merapatkan barisan CIA, FBI, partai Demokrat dan Media Massa globalis, menghadang Trump dengan propaganda russiagate dan memburu jurnalisme investigatif seperti Wikileaks dan Julian Assage yang dijadikan sumber informasi membongkar kelalaian dan kejahatan Hillary lainnya.
MOmen Multipolar, Rusia dan China
Selama dekade kedua GWOT, 2011-2019, perilaku geopolitik kekuatan globalis semakin tidak terkendali. Bersembunyi di balik paras lugu Obama, intervensi militer dan manipulasi diplomasi dilakukan di titik-titik sentral geopolitik. Kekuatan ini, bukannya menghancurkan ISIS, malah menggunakan gerakan teror ini sebagai proksi angkatan darat AS, bergerak melewati perbatasan dari Irak bagian utara menuju Damaskus. Ibu kota Suriah ini terancam sementara Raqqa, separuh Alepo, Daraa dan Der-Zoir sudah dikuasai tentara bayaran berjubah hitam ini. Tentara Assad yang sedang menggempur atau menghadang serangan, berkali-kali dibom dan menjadi skandal tetapi ditutupi media global.
Invasi globalis ke Suriah, bertopeng ISIS, membuat berang Rusia dan Iran, dengan kepentingan berbeda. Atas permintaan resmi Assad, SU 27 dan SU 35 dari pangkalan militer Rusia di lepas pantai Latakia mengusir pesawat-pesawat udara AS yang berkeliaran di langit Suriah. Sejak September 2015, peta pertarungan geopolitik di Suriah berbalik arah, memperkuat pengaruh Putin di Timur Tengah. Erdogan yang pelin-pelan terpaksa bergandeng tangan dengan Khomeini bersama Putin. Turki, kedua terbesar di NATO, merapuhkan konsolidasi sayap militer globalis. Dari situ, publik disuguhi berita dari corong propaganda tentang White Helmet, organisasi teroris berkedok aktivis tenaga medis yang dibiayai resmi AS dan Inggris, Assad menggunakan senjata biologis, atau Assad membombardir rumah sakit, dan propaganda lainnya.
Eksperimen gagal di Suriah tidak terlepas dari eksperimen globalis yang terlalu berani di Ukraina, negara batas antara Rusia dan Eropa versi globalis, tahun 2014. Sama seperti kejadian di Suriah 2011, Victoria Nuland, dubes AS, turun ke jalan bersama demostran fasis di Kiev. Demonstrasi didanai, disiapkan matang sebelumnya, akhirnya menjatuhkan Yanokovitch pro-Rusia dengan dugaan korupsi. Ukraina berdarah, wilayah timur, Donetsk dan Luganks, berontak memisahkan diri, dan Crimea, wilayah paling strategis bagi geopolitik Kremlin, diambil Putin dari Ukraina. Dipasangnya Poroshenko, presiden boneka EU-NATO, justru semakin melemahkan pengaruh globalis di kawasan Eropa Timur dan memaksa Angela Merkel Jerman dan Immanuel Macron Perancis bernegosiasi dengan Vladimir Putin, sampai hari ini.
Pertarungan geopolitik di Suriah dan Ukraina adalah terakhir dan paling berbahaya bagi dunia, dibandingkan upaya globalis menggantikan Maduro di Venezuela atau upaya memisahkan Hongkong dari China. Timur Tengah dan Eropa Timur merupakan kawasan strategis dan taktis bagi kepentingan ekonomi, politik dan kemanan Rusia dan China, dua negara pemegang veto yang kian kompak sejak 2011. Dalam seteru ini, pada akhirnya Iran, Rusia dan Turki bersatu sementara AS, Arab Saudi dan Israel keluar dari gelanggang dengan sejumlah trik yang tak berguna. Sekali lagi, disebut seteru paling berbahaya pasca Perang Dingin terutama karena ancaman perang nuklir sangat nyata antara Putin dan kekuatan globalis di balik Obama.
Dalam arsitektur geopolitik baru itu, Rusia bermain dengan apik, termasuk bernegosiasi dengan bin salman dan netanyahu. Ankara membeli sistem pertahanan udara tercanggih, S-400, dan Moscow membangun reaktor nuklir untuk Turki. Guncangan terbesar di dalam NATO setelah upaya kudeta terhadap Erdogan tahun 2016. Sementara dalam kaitan dengan seteru abadi antara Iran dan Israel, Rusia mengambil posisi penyeimbang kendati pun tahu persis Benyamin Netanyahu menggunakan Trump, membatalkan Kesepakatan Nuklir Iran warisan Obama dan NATO.
Dengan demikian memasuki periode akhir dekade kedua GWOT ini, Rusia menjadi kunci stabilitas keamanan global, termasuk kawasan Eropa. Di saat bersamaan, China menjadi kekuatan ekonomi dunia terbesar kedua. Aliansi keamanan dan integrasi ekonomi antara Rusia dan China terbentuk selama periode ini. Manuver globalis selama satu dekade mendorong Putin dan Xi Jinping bersekutu, suatu persekutuan yang diprediksi akan bertahan 5 sampai 10 tahun ke depan. Aliansi ini juga nantinya bergantung kepada hasil akhir pertarungan globalis di balik Joe Biden melawan Donald Trump melalui pandemi Covid 19, menuju peristiwa paling menentukan geopolitik dunia 2020, yaitu pemilihan presiden AS November 2020.
Putin dan Xi Jinping memegang kartu penentu masing-masing, dalam berhadapan dengan Trump maupun kekuatan globalis di balik partai Demokrat. Putin dan Xi akan terus berkuasa setidaknya 4 tahun ke depan, menanti orientasi geopolitik AS pasca pilpres AS. Sebagaimana akan diuraikan pandemi covid 19, adalah taruhan hidup mati dua kubu mewakili AS ke masa depan geopolitik baru. Karena itu, perhatian terhadap pandemi Covid di AS memiliki arti sangat penting bagi masa depan ekonomi dunia, terutama masa depan kematian dan kehidupan dari hasil dan proses pertarungan geoplitik terkini membajak virus corona.