
POSTNTT.COM | LABUAN BAJO - Sejumlah petani di Kabupaten Manggarai Barat, mengeluhkan kelangkaan pupuk bersubsidi. Akibatnya, biaya sarana prasarana produksi terjadi kenaikan karena menggunakan pupuk non-subsidi.
"Kita membeli pupuk NPK dan Urea bersubsidi dengan harga yang terjangkau, namun kini harus membeli dengan harga mahal karena pupuk non subsidi itu," kata Blasius, salah satu petani di Kecamatan Lembor, Selasa (12/1/2021).
Kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut dialami petani di setiap musim panen. Saat ini, kata dia, harga pupuk non subsidi di pasaran cukup tinggi.
"Jika mengandalkan pupuk non subsidi dipastikan petani harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk keperluan sarana produksi itu," katanya.
Menurut dia, kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut tentu petani mengeluhkan kekhawatiran produksi dan produktivitas menurun yang mengakibatkan pendapatan usaha tani merugi. Saat ini, jenis pupuk bersubsidi yang menghilang di pasaran antara lain jenis pupuk NPK dan Urea.
Lanjut dia, petani kini terpaksa membeli pupuk non subsidi meski harganya cukup mahal dibandingkan bersubsidi.
Demikian juga Sebastianus, seorang petani di Wilayah Lendo, kecamatan Lembor, Manggarai Barat mengatakan pihaknya kini membeli pupuk non subsidi setelah pupuk bersubsidi terjadi kelangkaan. Sebab, petani Lembor bila tidak menggunakan pupuk dikhawatirkan tanaman padi berkurang dan tidak subur hijau.
Sebelumnya diberitkan, Presiden Jokowi kesal dengan kinerja jajaran pemerintahan di sektor pertanian. Jokowi lantas mengungkit hasil balik dari program subsidi pupuk yang ternyata tidak menghasilkan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan hasil dari subsidi pupuk yang besar. Jokowi menyebut subsidi pupuk mencapai Rp33 triliun.
“Pupuk. Saya jadi ingat pupuk. Berapa puluh tahun kita subsidi pupuk? Setahun berapa subsidi pupuk? Rp33 triliun setiap. Returnnya apa? Kembaliannya apa? Apakah produksi melompat naik? Rp33 triliun. Saya tanya kembaliannya apa? 5 tahun berapa? 10 tahun berapa triliun? Kalau 10 tahun sudah Rp330 triliun,” katanya saat membuka rapat kerja nasional pembangunan pertanian di Istana Negara, Senin (11/1/2021)
Dia mengatakan bahwa angka itu besar sekali, sehingga menurutnya perlu ada evaluasi terkait hal ini. “Bapak dan ibu angka itu besar sekali. Artinya tolong ini dievaluasi ini ada yang salah. Saya sudah berkali-kali meminta ini,” ungkapnya.
Jokowi menekankan bahwa pertanian Indonesia harus dibangun dalam skala yang luas. Kemudian juga teknologi pertanian juga harus diterapkan.
“Sehingga harga pokok produksinya nanti bisa bersaing dengan harga komoditas yang sama dari negara-negara lain. Ini baru namanya bener. Kalau tiap tahun kita mengeeluarkan subsidi pupuk seperti itu kemudian tidak ada lompatan di sisi produksinya ada yang salah. Ada yang enggak bener di situ,” pungkasnya.
Masalah pupuk di Indonesia telah lama jadi `lahan basah` korupsi. Terbaru, pada 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap suap antara perusahaan mengangkut pupuk dengan produsen dari BUMN dan salah seorang anggota DPR RI.
Jokowi meminta ke depan agar komoditas pertanian non-sawit digenjot.
"Saya sangat menghargai ini adalah pertumbuhan yang baik di sektor pertanian terutama ekspornya. Tapi juga ingat ekspor kelihatan tinggi itu berasal dari yang banyak, berasal dari sawit. Hati-hati, bukan dari tadi, bukan dari komoditas-komoditas lain yang sudah kita suntik dengan subsidi-subsidi yang ada," tutur Jokowi.
Oleh karena itu, Jokowi menilai masalah bukan lagi berfokus pada masalah pupuk dan masalah bibit. Ia menilai, masalah harus diselesaikan dengan pembangunan pertanian dalam ekonomi skala luas.
Ia ingin teknologi pertanian dipakai dengan optimal. Sebab, kata Jokowi, peningkatan produksi akan membantu Indonesia lepas dari ketergantungan impor komoditas seperti kedelai, jagung hingga beras.
Namun hingga berita ini diturunkan, pihak dinas pertanian tanaman pangan, Holtikultura dan perkebunan Manggrai Barat belum berhasil dikonfirmasi untuk mengetahui sebab kelangkaan pupuk subsidi di daerah itu. (Edison Risal)