Efrem Vandilan Pangkas, mahasiswa Unika St Paulus
Sastra Indonesia merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang merekam perjalanan sejarah, nilai, dan identitas masyarakat. Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi, sastra menghadapi tantangan sekaligus peluang baru. Dunia digital mengubah cara kita membaca, menulis, dan menyebarluaskan karya sastra. Dulu, sastra hanya dapat dinikmati lewat buku cetak, majalah, atau pertunjukan tradisional. Kini, karya sastra hadir di layar ponsel, media sosial, hingga platform digital seperti Wattpad dan KaryaKarsa.
Perubahan ini tentu membawa dua sisi. Di satu sisi, era digital membuka ruang luas bagi siapa pun untuk menulis dan mengapresiasi sastra tanpa batas. Banyak penulis muda muncul dari dunia maya, membawa tema-tema segar dan gaya bahasa yang lebih ringan. Sastra menjadi lebih dekat dengan masyarakat, lebih mudah diakses, dan lebih dinamis dalam bentuknya.
Namun, di sisi lain, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan. Nilai estetika dan kedalaman makna dalam karya sastra terkadang terpinggirkan oleh tren populer. Banyak karya lebih menonjolkan sensasi daripada substansi. Selain itu, budaya membaca yang mendalam mulai tergeser oleh kebiasaan membaca cepat di media sosial.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi dalam sastra. Tradisi memberikan akar, sedangkan inovasi memberi sayap. Sastra Indonesia perlu terus beradaptasi dengan teknologi tanpa kehilangan jati dirinya sebagai medium refleksi dan pembentuk karakter bangsa.
Di era digital ini, sastra tidak boleh hanya menjadi arsip daring, tetapi harus menjadi gerakan budaya yang hidup—yang terus menumbuhkan empati, imajinasi, dan kesadaran manusia Indonesia.
Penulis : Efrem vandilan pangkas