
Pertama, alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk masing-masing Provinsi setiap tahun ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian kemudian ditindak-lanjuti dengan penerbitan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang alokasi pupuk bersubsidi pada masing-masing kabupaten/kota. Pergub tersebut diterbitkan pada akhir Desember atau pada awal bulan Januari. Seterusnya ditindak-lanjuti dengan penerbitan Peraturan Bupati yang mengatur tentang alokasi pupuk bersubsidi pada masing-masing kecamatan. Perbub tersebut diharapkan dapat diterbitkan selambat-lambatnya pada awal Februari. Akan tetapi dalam kenyataannya SK Alokasi Pupuk Bersubsidi tersebut diterima daerah sekitar bulan Maret dan April. Artinya, pemakaian pupuk bersubsidi tidak sesuai dengan pola tanam musim hujan/musim tanam awal tahun atau dengan kata lain SK tersebut efektif dipergunakan untuk musim tanam ke dua. Penyebab terlambatnya SK pengalokasian pupuk bersubsidi tersebut salah satunya alotnya pembahasan anggaran subsidi antara Pemerintah dan DPR. Selain itu di daerah apabila di tengah jalan terjadi revisi alokasi kebutuhan baik dari segi jenis, jumlah desa yang menerima akan terkendala oleh birokrasi pemerintahan, karena pejabat daerah (bupati/walikota) tidak selalu ada di tempat.
Kedua, Distribusi pupuk bersubsidi. Hubungan antara distributor dengan produsen dan distributor dengan pengecer dalam mendistribusikan pupuk bersubsidi adalah Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB). Adapun isi SPJB tersebut pada intinya adalah jumlah permintaan dan harga perunitnya. Keuntungan kotor dari menjual pupuk tersebut sekitar Rp. 75 per kilogram atau diluar ongkos transport dan biaya ongkos bongkar sekitar Rp. 5-Rp.6 per kilogramnya dan biaya transport dari distributor ke pengecer sekitar Rp.10 sampai Rp.25 perkilogramnya. Keuntungan perkilogram yang kecil ini bisa memicu pihak distributor berbuat “nakal”. Masalah tepat waktu, dimana produsen dan distributor tidak mengirimkan pupuk bersubsidi ke distributor atau ke pengecer sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Untuk distributor di daerah biasanya alasan keterlambatan karena keterbatasan jumlah kendaraan atau luas wilayah. Masalah ini bisa diatasi apabila masing-masing lini melaporkan secara berkala atau setiap bulan secara berjenjang. Selain itu distributor juga bisa membangun kerja sama dengan penyalur/pengecer (Lini IV) untuk langsung mengambil pupuk subsidi di gudang pusat distributor/pelabuhan bongkar muat pupuk bersubsidi. Sehingga pupuk bersubsidi tepat waktu diterima oleh kelompok tani.
Ketiga, Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Dalam pengisian DRKK petani dipandu oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) setempat. Sebelum dikirim ke Dinas RDKK tersebut direvisi kembali. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih ditemukan beberapa titik lemah dalam pengisian RDKK, antara lain: (1) masih ada petani yang lebih dari 2 ha mendapatkan pupuk bersubsidi, hal ini dikarenakan petani yang ada di RDKK belum tentu sebagai petani yang memiliki lahan sawah garapan; (2) keterlambatan dalam mengisi RDKK karena tidak ada petugas PPL yang mendampingi petani atau tidak ada dana khusus bagi petugas; (3) petani tidak serius mengisi RDKK, karena menurut mereka tanpa mengisi RDKK mereka tetap mendapat jatah pupuk bersubsidi, dan seandainya tidak masuk dalam RDKK mereka tetap bisa membeli pupuk di kios/pengecer resmi; (4) pupuk yang diusulkan dalam RDKK tidak terserap sepenuhnya, hal ini disebabkan jumlah pupuk yang ada di RDKK lebih banyak dibandingkan yang dibutuhkan. Salah satu solusi mengatasi masalah pendataan RDKK ini adalah melibatkan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dan BALITBANGDA dalam merumuskan berapa dosis anjuran spesifikasi lokasi. Peranan dan anggaran PPL lebih ditingkatkan lagi dalam pengawalan RDKK.